Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

--

JAMU KUAT SEKS PRIA

Gasa Foredi



Produk Kesehatan Untuk Wanita! Baca Lengkap di sini : GLUTERA Glutathione Indonesia



Rabu, 19 Agustus 2009

Teori Pendidikan Konstruktivisme Ki Hadjar

Diposting oleh Unknown

Teori Pendidikan Konstruktivisme Ki Hadjar

Membaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, saya teringat pada pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat proses belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning).

Kesamaan ini saya kira bukan suatu kebetulan. Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan ajar” di Pusara Nopember 1940-Jilid 9 no. 9/11, Ki Hadjar menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya, baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak seseorang.

Dari Teori Konvergensi ke ‘Sistem Merdeka’
Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham Baru” yang dimuat di Waskita edisi Mei 1929-Jilid I no. 8, Ki Hadjar mengemukakan 10 syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari syarat-syarat itu dalam hemat saya adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka.

Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir.

Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno, 1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.

Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan.

Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.

Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa = dhawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan.

Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.” Ini mengingatkan saya kepada teori perkembangan dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954), bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar dan konstruktivisme.

Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.

Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat siswa sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.

Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau membahayakan, maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan sampai pengarahan yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau menimbulkan konflik antara pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hadjar, “Si pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”



Read the rest of this entry -→

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

 

Posts Relacionados:

Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar

Diposting oleh Unknown

Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar

Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hadjar adalah pendidikan Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang banyak merujuk mereka.

Dari banyaknya rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan pemikiran-pemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya “Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar” dalam Keluarga edisi Desember 1936 th. 1 no.2, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam proses pembelajaran rakyat Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Di situ ia mengemukakan ‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena praktisnya, mudah dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam keluarga.”

Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan Keluarga” yang dimuat dalam Keluarga edisi Oktober 1937 tahun ke-1 no. 11, Ki Hadjar menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam alam keluarganya”. Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas anak dari keluarganya. Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke sekolah karena kebutuhan utama anak ada dalam keluarga.

Bagi Ki Hadjar, keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak. Apalagi di Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga dinilai sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah keluarganya.” Begitu tulis Ki Hadjar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam “masa peka”-nya ... maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran ... mendapat pengaruh yang sebanyak-banyaknya serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masing-masing.”

Keluarga merupakan lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang terjadi dalam keluarga merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa penting dan oleh karena itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha memahami dunia. Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung diabaikan anak sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.

Pemikiran Ki Hadjar tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi anak sejalan dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan perolehan pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan dipelajari dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna (dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga representasinya disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan. Sebaliknya objek-objek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak memilih sendiri pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran berdasarkan derajat kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai pusat, memberikan dasar penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran ini juga sejalan dengan pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar dari konstruktivisme-sosial.

Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil dari Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan (terbit ulang tahun 2004), kita temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks Indonesia itu. Di antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman Madya”, “Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka panggulawentah/Olah gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”, “Faedahnya sistim pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk pentingnya pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi dalam masyarakatnya.

Penelusuran dalam karya-karya tulis Ki Hadjar memberi pelajaran penting bagi saya: orisinalitas dan progresivitas Ki Hadjar dalam hal pemikiran tentang pendidikan merupakan teladan berharga bagi Bangsa Indonesia. Orisinalitas itu lahir dari wawasan dan pemahaman yang luas tentang bidang pendidikan yang ia geluti, juga tentang kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia. Tentunya pemahaman itu diperoleh melalui proses belajar yang panjang. Ketekunan dan kegigihan tercakup di dalamnya. Secara kreatif berbagai pemahaman dan pengetahuan itu diolah oleh Ki Hadjar untuk menghasilkan pemikiran yang khas dan orisinal. Di situ juga tampak jelas keterbukaan pikiran Ki Hadjar terhadap berbagai pandangan dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Ketekunannya mempelajari berbagai perkembangan baru dalam pendidikan memungkinkannya menyerap itu semua.

Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran Ki Hadjar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya memahami Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

Orisinalitas dan progresivitas. Itulah yang menurut saya warisan amat berharga dari Ki Hadjar. Kita perlu meneladaninya, mengusahakan diri menjadi orang yang mandiri, mampu berpikir kreatif untuk menghasilkan solusi orisinal, berorientasi ke depan dan ikut memberi kontribusi kepada perkembangan masyarakat Indonesia. Untuk itu, lagi-lagi belajar dari Ki Hadjar, ketekunan dan kegigihan belajar serta kepedulian dan keterlibatan dalam persoalan Bangsa Indonesia perlu kita miliki. ***

Read the rest of this entry -→

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

 

Posts Relacionados:

Jumat, 14 Agustus 2009

Definisi Riset Eksploratioris dan Lainnya

Diposting oleh Unknown

Jenis, Macam, Pengertian, Definisi Riset Eksploratioris, Konklusif, Deskriptif dan Kausal - Ilmu Penelitian Riset Statistik


A. Riset Eksploratoris

Riset eksploratoris adalah riset yang memiliki tujuan untuk mendapatkan keterangan, wawasan, pengetahuan, ide, gagasan, pemahaman, dan lain sebagainya sebagai upaya untuk merumuskan dan mendefinisikan masalah, menyusun hipotesis, serta dapat dilanjutkan dengan riset lanjutan yang lebih advance.

Sifat-sifat riset exploratory :
- hasil riset bersifat tentatif
- bertujuan untuk lebih memahami akar permasalahan
- dapat dilanjutkan dengan riset lanjutan yang lebih serius
- proses riset tidak terstruktur rapi
- analisa data primer dengan sampel yang kecil
- Informasi dasar berdifat fleksibel

Contoh riset eksploratoris :
- Interview atau wawancara secara mendalam
- FGD / focus group discussion / diskusi berkelompok
- studi kasus yang pernah terjadi
- Analisa data sekunder
- Survey ke para ahli

B. Riset Konklusif
Riset konklusif adalah jenis riset di mana tujuan utama menguji suatu hipotesis atau hubungan tertentu.

Sifat-sifat riset exploratory :
- hasil riset bersifat konklusif
- bertujuan untuk menguji suatu hubungan atau hipotesis
- Hasil riset biasanya digunakan untuk pengambilan keputusan
- proses riset formal serta terstruktur rapi
- analisa data kuantitatif dengan sampel yang besar
- Informasi dasar yang dibutuhkan telah siap

Conclusive Research dapat dibagi menjadi dua macam, yakni :

1. Riset Deskriptif
Riset deskriptif adalah riset yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan suatu karakter / karakteristik atau fungsi dari sesuatu hal. Dalam riset ini diperlukan informasi lengkap 6W yaitu why, when, who, what, where dan way. Contoh riset deskriptif adalah seperti bagaimana persepsi konsumen terhadap pelayanan telepon seluler fren mobile-8.

2. Riset Kausal
Riset kausal adalah riset yang bertujuan untuk menentukan hubungan dari suatu sebab akibat / causal dari suatu hal. Contohnya seperti bagaimana hubungan antara harga bbm / bahan bakar minyak terhadap jumlah pengguna sepeda motor.

Read the rest of this entry -→

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

 

Posts Relacionados:

Ilmu, Penelitian dan Kebenaran

Diposting oleh Unknown

Ilmu, Penelitian dan Kebenaran
Ilmu lahir karena manusia diberkahi Tuhan suatu sifat ingin tahu. Keingintahuan seseorang terhadap permasaahan disekelilingnya dapat menjurus kepada keingintahuan ilmiah.

1 Manusia juga dibekali akal pikiran guna menjawab rasa keingintahuan dan masalah yang terjadi dalam kehidupannya di dunia. Sehingga konsep antara ilmu dan berpikir adalah sama. Dalam memecahkan masalah, keduanya dimulai dari adanya rasa sangsi dan kebutuhan akan suatu hal yang bersifat umum. Kemudian timbul suatu pertanyaan yang khas, dan selanjutnya dipilih suatu pemecahan tentatif untuk penyelidikan.2

Menurut Maranon (1953), ilmu mencakup lapangan yang sangat luas, menjangkau semua aspek tentang progres manusia secara menyeluruh. Termasuk didalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara sistematik melalui pengamatan dan percobaan yang terus-menerus, yang telah menghasilkan kebenaran yang bersifat umum.

Tan (1954) berpendapat bahwa ilmu bukan saja merupakan suatu himpunan pengetahuan yang sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi. Ilmu telah memberikan metode dan sistem, yang mana tanpa ilmu, semua itu akan merupakan suatu kebutuhan saja. Nilai dari ilmu tidak saja terelak dalam pengetahuan yang dikandungnya, sehingga si penuntut ilmu menjadi seorang yang ilmiah, baik dalam ketrampilan, dalam pandangan maupun tindak-tanduk.3

Sedangkan proses berpikir adalah suatu refliksi yang teratur dan hati-hati. Proses berpikir lahir dari rasa sangsi akan sesuatu dan keinginan untuk memperoleh suatu ketentuan, yang kemudian tumbuh menjadi suatu masalah yang khas. Masalah ini memerlukan suatu pemecahan, dan untuk itu dilakukan penyelidikan terhadap data yang tersedia dengan metode yang tepat. Akhirnya sebuah kesimpulan tentatif akan diterima, tetapi masih tetap dibawah penyelidikan yang kritis dan terus-menerus untuk mengadakan evaluasi secara terbuka. Karena manusia normal selalu berikir dengan situasi permasalahan.

Hanya terhadap hal-hal yang lumrah saja, biasanya, reaksi manusia terjadi tanpa berpikir. Ini adalah suatu kebiasaan atau tradisi. Tetapi jika masalah yang dihadapi adalah masalah yang rumit, maka manusia normal akan mencoba memecahkan masalah tersebut menurut langkah-langkah tertentu. Berpikir demikian dinamakan berpikir secaa reflektif (reflective thinking).4

Ilmu menemukan materi-materi alamiah serta memberikan suatu rasionalisasi sebagai hukum alam. Ilmu membentuk kebiasaan serta meningkatkan ketrampilan observasi, percobaan, kasifikasi, analisa serta membuat generalisasi. Dengan adanya keingintahuan manusia yang terus-menerus, maka ilmu akan terus berkembang dan membantu kemampuan presepsi serta kemampuan berpikir secara logis, yang sering disebut penalaran.5 Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir secara nalar mempunyai kriteria penting yaitu adanya unsur logis didalamnya dan adanya unsur analisis didalamnya.

Penelitian adalah terjemahan dari bahasa Inggris research. Dari itu ada juga ahli yang menerjemahkan research sebagai riset. Research itu sendiri berasal dari kata re, yang berarti “kembali” dan to search yang berarti mencari. Dengan demikian arti sebenarnya dari research atau riset adalah “mencari kembali”. Menurut kamus Webster’s New International, penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu.

Menurut ilmuwan Hillway ((1956) penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui pnyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah , sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Whitney (1960) menyatakan bahwa disamping untuk memperoleh kebenaran, kerja penyelidik harus pula dilakukan secara sungguh-sungguh dalam waktu yang lama. Dengan demikian penelitian merupakan suatu metode untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian juga merupakan metode berpikir secara kritis.6

Penelitian juga bertujuan untuk mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima, ataupun mengubah dalil-dalil dengan adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut. Dari itu, penelitian dapat diartikan sebagai pencarian pengetahuan dan pemberi artian yang terus-menerus terhadap sesuatu. Penelitian juga merupakan percobaan yang hati-hati dan kritis untuk menemukan sesuatu yang baru. Penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method) disebut penelitian ilmiah (scientific researh).

Dalam penelitian ilmiah ini, selalu ditemukan dua unsur penting yaitu observasi (pengamatan), dan unsur nalar (reasoning) (Ostle, 1975). Unsur pengamatan merupakan kerja dengan mana pengetahuan mengenai fakta-fakta tertentu diperoleh melalui kerja mata (pengamatan) dengan menggunakan presepsi (sense of perseption). Nalar adalah suatu kekuatan dengan mana suatu fakta-fakta, hubungan dan interelasi terhadap pengetahuan yang timbul, sebegitu jauh ditetapkan sebagai pengetahuan sampai sekarang.7

Hubungan antara ilmu dan penelitian menurut pendapat Whitney (1960) bahwa ilmu dan penelitian adalah sama-sama proses, sehingga ilmu dan penelitian adalah hal yang sama. Hasil dari proses tersebut adalah kebenaran (truth). Bagaimana pula hubungan antara berpikir, penelitian dan ilmu ? Konsep berpikir, ilmu dan penelitian juga sama. Berpikir, seperti halnya dengan ilmu, juga merupakan proses mencari kebenaran. Perlu juga disinggung bahwa kebenaran yang diperoleh melalui penelitian terhadap fenomena yang fana adalah suatu suatu kebenaran yang telah ditemukan melalui proses ilmiah, karena penemuan tersebut dilakukan secara ilmiah.8

Kebenaran sebagai tujuan ilmu dan penelitian sifatnya objektif (meskipun demikian, tidak dapat dihindarkan adanya subjektifitas. Kebenaran juga sifatnya interpretative, selalu berkembang, terbarukan, dan bukan sesuatu yang mati. Kebenaran ilmu dan penelitian bias terbantahkan oleh fakta atau kenyataan dan juga penelitian baru yang lebih baik.

Read the rest of this entry -→

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

 

Posts Relacionados:

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

 

Gasa Foredi

By Dicas Blogger e Blog Belajar Menulis